Paris! (day#1:Sacre Coeur, Montmartre)

Lutetia Parisiorum. Paris adalah cita-cita semua wisatawan. Kota ini bagaikan magnet. Setiap tahunnya, ada lebih kurang 30 juta wisatawan datang ke Paris berebut oksigen dengan hampir 12 juta penduduk lokal. Berhubung kami sedang menetap di Belanda, maka perjalanan ke Paris tidak boleh dilewatkan. Sebelumnya, rencana awal ke Paris harus gagal karena persiapan yang tidak matang. Akhirnya kami memesan tiket Thalys untuk keberangkatan sebulan kemudian agar mendapatkan harga yang masih bersahabat, penginapan pun sudah dibooking melalui sebuah situs booking anyar setelah lebay sekali mempertimbangkan faktor harga-lokasi-kondisi. Bukan apa-apa, Paris mahal. Tapi Alhamdulillah ada saja pilihan yang pas.

Tengah Juni menjadi pilihan kami mengunjungi Paris. Kami berangkat dari stasiun Rotterdaam Cetraal. Ini pengalaman pertama saya naik kereta supercepat, dan rasanya? Sangat cepat!:p. Sebelum sampai di Paris, Thalys berhenti menurunkan dan mengambil penumpang di stasiun Antwerpen dan Brussel di Belgia. Dalam waktu 3 jam, kereta kami sampai di Gare Du Nord, Stasiun kereta terbesar di Paris, Simbol Revolusi Industri Prancis. Satu kata yang dapat saya gunakan untuk menggambarkan stasiun ini adalah: Cool! Berbagai kereta cepat dari negara-negara tetangga tengah parkir dengan arogannya, saya jadi teringat kereta ekonomi di stasiun Bandung yang romantis dan sangat bersahaja. Satu hal yang tidak dapat saya hindari ketika sedang di luar negeri adalah, membanding-bandingkan apa saja yang ada dengan kondisi di negara kita *istighfar*

Akhirnya secara resmi, kami menghirup udara Paris. Paris sedang cerah, walaupun sudah pukul 6 sore, tapi matahari musim panas masih niat menyinari kota ini *tsah. Karena lapar, kami langsung makan di sebuah restoran makanan cepat saji yang sangat padat di depan Gare Du Nord. Untuk mencapai hotel, kami bisa langsung menggunakan Metro dari stasiun, namun kami putuskan untuk berjalan kaki lebih kurang 600 meter ke Barbes Rochechouart, salah satu stasiun metro terpadat di Paris. Kalau tidak salah, sepanjang jalan ini, mayoritas yang kami lihat di jalan adalah orang-orang kulit hitam imigran dari Afrika. Barbes Rochechuart mengingatkan saya pada Pasar Baru Bandung. Bener-bener sumpek aakk. Katanya, daerah-daerah sekitar Gare Du Nord memang tidak bagus dan rawan pencopet.

Tanpa berpanjang lebar, kami membeli tiket metro pada sebuah mesin tiket di depan stasiun. Hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai ke stasiun metro terdekat dengan Hotel. Oya, peta bawah tanah Paris adalah salah satu yang terkeren di dunia, jalur subway membelah-belah paris tanpa ampun, ruwet sekali, lebih ruwet dari masalah hidup saya *eaa. Tidak sulit untuk menemukan hotel kami, saya sudah membekali diri dengan peta yang saya capture dari google map. Lagipula, kata saya, anda tidak akan kesasar di Paris, kecuali anda punya skill kesasar yang mumpuni (?). Sebagai kota yang narsis, Paris sudah membekali diri dengan screen peta yang melimpah. Tiap dua menit berjalan anda akan menemukan peta. Jika masih kesasarpun anda bisa bertanya, Parisian yang terbiasa dengan “tamu”, bisa dipastikan akan menjawab dengan ramah *sotoy. Pesan pribadi dari saya, tetap berpeganglah pada moto “malu bertanya sesat di jalan, banyak bertanya malu-maluin”

Resepsionis hotel kami saat itu adalah seorang laki-laki paruh baya keturunan arab yang namanya sama dengan nama belakang cowo saya. Dan tanpa sebab yang rasional, ini membuat saya bersimpatik pada si Bapak Arab. Dia memberi kami sebundel brosur wisata Paris lengkap dengan peta kota Paris. Kamar kami lumayan, tapi TV-nya rusak. Alhamdulillah, tidak ada yang bisa saya harapkan dari saluran TV Prancis :p. Internet hanya bisa diakses di lobby hotel. Dan setiap pagi kami disuguhi breakfast yang paris sekali (?), sekeranjang potongan baguette dan croissant dengan berbagai macam pilihan selai, jus jeruk, yoghurt dan coklat susu hangat. Perfect.

Sore itu, setelah melihat-lihat peta, kami memutuskan untuk berjalan kaki menuju Sacre Coeur. Jarak dari hotel kami ke Sacre coeur lumayan. Lumayan bikin gempor. Haha. Sacre Coeur adalah sebuah basilica putih anggun yang berdiri di puncak bukit Montmartre, titik tertinggi di kota Paris. Montmartre kental dengan kesan romantis dan bersejarah. Kawasan ini terkenal dengan pelukis-pelukis Paris. Montmartre adalah tempat selama beberapa tahun maestro Picasso menghasilkan lukisan-lukisannya. Kata saya, plaza Montmartre adalah salah satu jalanan paling atraktif, di sepanjang jalan banyak pelukis memajang lukisan, kerumunan pelancong, toko-toko souvenir berderet-deret, kafe-kafe ala paris, dan pemain musik yang suara akordeonnya membuat saya merasa menjadi model video klip. Kami hampir membeli topi khas seniman Paris untuk cowo saya, tapi tidak jadi karena tidak ada yang pas.

Karena Sacre Coeur berada di titik paling tinggi Montmartre maka kami punya dua pilihan untuk mencapainya, naik tangga atau naik funiculaire yang dikelola perusahaan Metro. Kenapa?Kami naik funiculaire?tidak, kami memilih naik tangga. Tangga yang seperti tanpa ujung. Jika tidak ingat kalau masa depan saya masih panjang, saya sudah fix akan pura-pura pingsan. Tapi kelelahan yang memilukan itu memang pantas sebagai harga yang harus dibayar untuk menyaksikan Kota Paris dari ketinggian. Oke. Itu keren banget. Cukup. Saya ga sanggup berkata apa-apa lagi.

Paris memiliki tata kota yang sangat apik. Adanya peraturan pembangunan gedung di kota ini, membuat gedung-gedung Paris hampir tampak seragam, dengan tinggi yang hampir sama dan dengan nuansa warna yang sama: off white-cream yang elegan dan berkelas(?). Tidak berlebihan rasanya, Paris memang pantas dikagumi. Kota penting selama rentang dua millennium ini seperti tidak punya sudut jelek. Indah kemanapun mata memandang.

Nah, mumpung sudah di atas, tak kami lewatkan kesempatan untuk sekedar mengintip interior basilica yang populer ini. Namun dikarenakan ada misa atau sesuatu sejenis itu, kami akhirnya  langsung keluar lagi. Hehe. Tidak lupa kami foto-foto dulu dengan latar Sacre couer, minta tolong difoto pada seorang turis asal india yang berwajah baik-baik. Setelah itu kami bergabung bersama turis-turis yang sedang beristirahat memenuhi tiap anak tangga Sacre Coeur, memandangi keelokan paris dari ketinggian, ada yang foto-foto, mengobrol, ketawa-ketawa, minum-minum, pacaran, bernyanyi, ah, betul-betul Paris!(?)

Karena hari mulai gelap akhirnya kami putuskan untuk kembali ke hotel. Kali ini naik metro, kalau tidak, saya rasanya akan positif cedera betis serius sebelum sampai hotel. Salah satu hal yang paling saya syukuri dari perjalanan hari ini, dan hampir semua perjalanan kami adalah Langit hampir tidak pernah rewel. Dia memang traveller sejati, dia sangat menikmati perjalanan. Dalam gendongan saya, Langit selalu tampak senang, sesekali ia melambai-lambaikan tangan, mengayunkan kaki dan bernyanyi-nyanyi kecil. Aaak Langit so swiiit. Sesampai di hotel kami sholat jama’ maghrib-isya dan langsung tepar, Langit juga langsung tidur. Paris yang impresif menunggu kami jelajahi lagi, kami tak sabar menunggu esok hari:)

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

5 Responses to Paris! (day#1:Sacre Coeur, Montmartre)

  1. rofiannisa says:

    jangan-jangan pas dede Langit uda gede nanti dia punya acara di tivi “Langit sang Petualang” kak (?)

  2. dwiranipuspa says:

    kak ocha ceritanya diselingi foto juga dong kak. makasi kak

  3. Keindahan Paris memang tidak bisa dipungkiri lagi, hampir setiap sudut kota mempunyai nilai seni tersendiri. Saya sangat setuju dengan kalimat mbak bahwa Paris merupakan cita-cita semua wisatawan.
    Namun disisi lain, Paris memiliki banyak catatan buruk menyangkut kenyamanan. Secara kusus di Basilika Montmartre, saya sempat mengalami kejadian tidak menyenangkan beberapa bulan lalu. Para penjual berkulit hitam (maaf bukan rasis) yang menjajakan souvenir berupa gelang tidak segan segan memeras para wisatawan. Bahkan teman saya sempat di todong dengan gunting ketika tidak menghiraukan tawaran mereka. Untung saja tidak terjadi masalah serius karena seketika itu melintas orang orang Jerman dan kebetulan kami bisa berbahasa Jerman. Sebisa mungkin hindari mereka !
    Salam 🙂

  4. Steven Toh says:

    Blog yang menarik, membangkitkan kenangan akan tempat ini…. Saya ingat Montmartre dalam bahasa Perancis berarti “Bukit Para Martir”, karena nama itu dikaitkan dengan Uskup paris di abad ke 3.

    Saya mencoba menulis blog tentang ini , semoga anda suka : http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/06/paris-di-montmartre.html

Leave a reply to libertymeivert Cancel reply