Di dalam benakku, kota kecil yang hangat ini terlalu berasosiasi dengan keluargaku yang hangat.
Maka bagiku, pusara ayah dan adik laki-lakiku adalah seperti bekas luka menganga di atas tanahnya.
Susah kujelaskan bagaimana perasaanku untuk kota ini jadi demikian berbeda. Pariaman hari ini seperti sudut kamar yang kusam berbau debu. Rindu tapi pilu.
Tiap segala tentang Pariaman muncul di kepalaku, bayangan tentang ayah dan adik laki-lakiku akan selalu muncul, suara mereka terngiang-mengiang di telingaku.
Sudut-sudut Pariaman adalah ayahku dan suara motornya, ayahku dan seragam PNS-nya, ayahku dan aromanya yang khas, ayahku yang menyusuri pasar, ayahku yang bersepeda di sepanjang pantainya, ayahku dan ikan-ikan segar dari nelayan yang ia bawa pulang, ayahku yang membanggakanku pada siapapun yang mau mendengar, ayahku dan tempat-tempat yang ia kunjungi bersama ibuku.
Sudut-sudut Pariaman adalah adik laki-lakiku yang paling baik hati sedunia, adik laki-lakiku yang mencari sarapan atau kelapa muda segar untukku, adalah adik laki-lakiku yang mengelilingi kota kecil itu dengan motornya di bawah Mataharinya yang kelewatan terik, adik laki-lakiku dan candaannya yang jenaka, kenangan-kenangan masa kecilku bersamanya, atau anak-anak kurang ajar yang meledeknya karena ia adalah anak laki-laki baik hati yang amat berbakti pada ayah dan ibuku.
Aku masih belum memahami bagaimana orang-orang bisa kokoh bertahan setelah dihantam kecewa dan kehilangan. Aku tak pandai. Yang bisa kulakukan hingga saat ini hanya bersembunyi dan berpura-pura. Dan tak tahu sampai kapan.