GAMAIS PEDULI,,

Entah kenapa aku
ingin menulisnya

Bukan karena apa2

Hanya sebuah
keinginan untuk meluahkan pengalaman ini ke dalam kata2, menyimpannya dengan
baik dalam sel memori, mendekapnya erat dalam ingatan, agar ia jauh sejauh2nya
dari lupa, agar zaman tak mampu menelannya, agar usia tak mengambilnya
dariku,,,

Tak lain tak
bukan karena aku tak ingin kehilangan. Kehilangan sesuatu yang berharga,
kehilangan sebuah penghargaan, kehilangan sepenggal kisah yang bisa kuceritakan
untuk siapapun kelak.

Sore itu indah,
diselimuti layung Tuhan dengan teduhnya kelembutan, hingga aku bisa merasakan
belaian kasih sayang angin yang bertiup, penuh bahasa kasih, cinta, cinta Tuhan
yang ia percikkan ke setiap sukma manusia.

Kampung 200,
Cisitu, 10 Mei 2008, saat mega melagukan tasbih alam. Di dalamnya ada benih
hujan, yang dengannya Tuhan melimpahkan nikmat, meneguhkan setiap tapak yang
berjalan di muka bumi. Angin
menggiringnya ke kampung seberang, membawa serta keluh kesahku, menguap,
menjauh,meninggalkan kerak bumi.

Semua rasa melebur
bersama tawa anak2, mereka berlarian, tertawa, manja minta digendong, mengajak
bercengkerama kakak2 yang sengaja datang untuk mereka. Aku tau, saat itu mereka
merasa seperti putri2 dan pangeran2 di negeri dongeng, seperti yang selalu
mereka dengar,mereka merasa dihargai, ada yang peduli, ada yang bertanya kabar
mereka hari itu, bagaimana sekolah mereka, dengan apa mereka makan tadi siang,,

Subhanallah, aku
sedang menggenggam ibrah. Tuhan, hari itu milik mereka, milikku, milik aku,
milik mereka. Maka nikmat Engkau mana yang berani kudustakan???

Saat membaur
bersama mereka, apalagi yang bisa meluluhkan hati selain kepolosan dan
kejujuran mereka. Mereka jujur pada diri sendiri, mereka jujur pada dunia,
mereka jujur pada Rabb mereka. Walaupun mereka tidak mengerti mengapa mereka
seperti itu. Entah kenapa aku percaya kalau anak2 dekat dengan malaikat, mereka
tidak pernah tau cara mengejawantahkan duka selain dengan menangis, mereka
tidak mengerti bagaimana menunjukkan bahagia selain dengan tertawa. Mereka suci,
sesuci senyuman mereka. Mereka guru2ku, dosen2ku yang sengaja diatur Tuhan
untuk memberikan kuliah kehidupan, tentang kejujuran adalah kekuatan, bahwa
orang yang jujur adalah orang yang kuat. Mereka membuktikannya, mereka mampu
membuatku melihat kekuatan, menembus tulang2 mereka yang masih rapuh. Dan
pelajaran itu akan kubawa dalam hidup, mengalir mengikuti darah di segenap
pembuluhku, membuncah di setiap nafasku, hingga akhirnya ikut terkubur bersama
jasadku kelak dan dengan ruh, kubawa menghadap Zat yang dariNya kejujuran itu
berasal. InsyaAllah, amin…

Aku akan mengingat
enti (kudoakan semoga ibumu lekas sembuh, dek!Sabar, insyaAllah nanti ada orang
baik yg akan menyekolahkanmu), wati, neno, mentari,aldi (kenapa waktu itu ga
mau kakak gendong?), kaka,sandi, lani, dayat, rizki,iqbal, andika s, andika j
(mau tw apa yang salah seorang andika ini bilang ketika aku panggil dengan sebutan
‘andika’ saja???begini:”atuhlah kak, bukan andika, andika es, ntar ketuker sama
andika je, di sekolah kan kaya gitu..”, siapa yg tidak senyum mendengar ini?),
devi, kiki, dan puluhan anak lainnya.

Aku jadi ingat
kepolosan devi, anak usia lima tahunan. Waktu itu aku sedang duduk menikmati
ibu2 yang sedang bermain futsal (jika salah satu diantara mereka adalah ibuku,
bisa dipastikan, beliau sudah kutarik pulang). Devi duduk di sebelah kiriku.
Disebelah kananku ada kiki, adik seorang akhi yang dititipkan padaku. Kiki
sangat gemuk, menggemaskan (aku yakin ini alasan kenapa kakaknya tega bertanya
“kiki mau ikutan main bola, atau jadi bola?”Yup!pertanyaan yg terdengar
sopan).

Semua berlangsung
ketika aku melarang anak2 memanjat, menakut2i mereka kalau nanti jatuh kaki
mereka bisa patah dan mengeluarkan banyak darah, agak lebay memang, karena yang
mereka panjat tak lebih dari satu meter (dan aku tau ini sia2, sebab semakin
dilarang mereka justru semakin menjadi2, ini juga trikku dulu waktu kecil untuk
mengambil perhatian orang, selain dengan pura2 menangis). Devi di sebelahku
cekikikan, menggoyang2 lenganku.

Dia bertanya
sambil cekikikan ,”kakak, di sebelah itu siapanya kakak?”

“Adeknya kakak”,
aku tidak menemukan jawaban lain selain ini. Sempat berfikir untuk menjawab
‘ini tadi, ada yang nitipin adeknya ke kakak’

“kok gemuk sih
kak?kakaknya kurus, kok adeknya gemuk??”

Hening.

“kenapa ga?kan
bisa aja…”

“kak,adek kakak
namanya siapa?”

“kiki.”

“kiki kelas
berapa kak?”

Aku bingung, anak
ini terlihat sangat penasaran dengan ‘kegemukan’. Sementara anak di depan ku
yang memanjat semakin menjadi2 seperti melakukan atraksi sirkus, karena
perhatianku tidak lagi padanya.

“Tanya aja
langsung orangnya,, kak kiki… kak kiki ditanyain udah kelas berapa…?”. Tak
semua yang kita harapkan jadi kenyataan. Kiki tidak menjawab. Kiki diam,
memainkan botol air minum di tangannya.

“Tanyain aja,”
ulangku

“males ah,”

“lho?kenapa?”

“Abis dia gemuk.”
Devi begitu mantap menjawab dengan wajah tanpa dosa.

Mukaku langsung
merah padam menahan ketawa. Aku tau kalau saat itu aku tertawa, akan ada satu
anak yang akan sedih, kehilangan penghargaan yang ia butuhkan dari semua orang.

Aku jawab dengan,
“lho, emang kenapa kalau gemuk?gemuk kan bukan dosa, knp harus malu?kak kikinya
kelas 6”

Devi mengangguk2,
aku mengambil kesimpulan bahwa dia paham, apalagi setelah dia menambahkan
‘gemuk berarti sehat ya kak?’. Aku tak melihat reaksi kiki karena aku fokus
pada devi. Aku harap ia puas dengan jawabanku.

Namun, sepertinya
devi lagi2 tertarik dengan fenomena ‘kegemukan’, dia bertanya lagi,”Dia sekolah
dimana kak?”. Aku mengulang jawaban yang sama, ‘tanyain aja ke kak kikinya”.

“gak ah, males,
dia gemuk”

“CGHJKKK
HBGKKKLCGHHJFFF”

Devi senyum
dengan bangga penuh arti, bangga kalau dia kurus. Siapa yang tidak ikut
tersenyum mendengar itu, melihat senyum polos Devi.

Dasar, anak2…

Saat itu ada
selangsa kebahagian yang diam2 hadir menyelinap ke ulu hatiku, bersarang di
sana, gemuruh bahana ke seluruh jiwaku, nyaris tanpa perintah otak, tanpa
rumitnya perjalanan stimulan, dan kompleksnya tugas syaraf, bibir ini
tersenyum. Diikuti senyuman puluhan anak, senyuman ibu2, senyuman kami di kampung
200, bumi Tuhan menjadi saksi, langit Tuhan menjadi saksi, angin, awan,
semuanya…

Hari sudah
semakin sore, acara sudah usai hari itu, mereka berpamitan padaku, menyalamiku,
aku balas mendekap mereka, kubisikkan doa di telinga mereka dan ingin pula kubisikkan
bahwa kebahagiaan milik semua orang, Tuhan ada untuk semua orang, siapapun,
dimanapun, kapanpun, saat sedih, saat senang, Tuhan ada di segala musim, dan
dalam islam segalanya terasa indah, doa bicara bahwa ukhuwah itu indah.

Oya, ada seorang
ibu yang menyalamiku, tampak sangat bahagia, beliau mengingatkanku pada ibu
lainnya yang tadi siangnya bercerita padaku dan 2 akhwat lainnya tentang buah
kolangkaling, Beliau menyebutnya cangkaleng. Dan di akhir cerita, beliau
bilang, “Kalo ada cangkaleng, tar inget ibu ya neng…” Aku dan yang lainnya
senyum. InsyaAllah bu…

Adzan maghrib
berkumandang, kembali mengisi hati ini dengan “Allahuakbar”, dengan pujian
paling kekal sepanjang sejarah manusia yang mengagungkan Penciptanya. Dengan
senyuman, kami menutup hari itu, menjemput malam, menjemput ketenangan, dan
siap menyaksikan milyaran gemintang bercengkerama, berkedip, menggoda penduduk
bumi, melakukan tasbih untuk Tuhannya dengan caranya sendiri. Dan saat itu,
kembali terlintas senyuman anak2, satu senyuman mereka adalah senyuman dunia,
senyuman malaikat, senyuman penduduk bumi, senyuman penghuni langit.

 

Nb:

 
Hari berikutnya
sangat melelahkan. Duet aku dengan nadhilah menghasilkan anak2 yang berteriak
minta jajan, berlarian kesana kemari, minta makan. Sangat melelahkan! Sampai2
ketika Nadhilah berkata, “Ocha, muka igun kena bola”, tau aku menjawab apa, yep
‘alhamdulillah….’, Nadhilah langsung melotot dan bergumam, “OCHA!!!”.
Astaghfirullah, ya Rabb, aku hanya bercanda, hanya ingin menghibur diri sendiri,
menghilangkan sedikit penat, bagaimana hati ini bisa tega??

Hari itu aku dan
Nadhilah mendapat pelajaran ‘jangan macam2 dengan anak2’ dan pelajaran kedua
untukku pribadi adalah kuliah kalkulus pak S*my**t* bukanlah musibah, bahkan
sangat mengasyikkan, seperti piknik, jika dibandingkan dengan mengejar 8 anak
yang berlarian.

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

8 Responses to GAMAIS PEDULI,,

  1. tiKa says:

    kayaknya asyik ni…

    gak khawatir ni ql ambisi pgn nikah jadi mengembara lagi???

    he3,,,

  2. adjie says:

    eh,cha,tulisannya bagus juga…(gak usah geer deh!!!)

    tapi beneran nih mo tanya, kok bisa si nulis kaya gitu??pake istilah2 kiasan kaya:”Entah kenapa aku percaya kalau anak2 dekat dengan malaikat, mereka tidak pernah tau cara mengejawantahkan duka selain dengan menangis, mereka tidak mengerti bagaimana menunjukkan bahagia selain dengan tertawa. Mereka suci, sesuci senyuman mereka. Mereka guru2ku, dosen2ku yang sengaja diatur Tuhan untuk memberikan kuliah kehidupan, tentang kejujuran adalah kekuatan, bahwa orang yang jujur adalah orang yang kuat. Mereka membuktikannya, mereka mampu membuatku melihat kekuatan, menembus tulang2 mereka yang masih rapuh. Dan pelajaran itu akan kubawa dalam hidup, mengalir mengikuti darah di segenap pembuluhku, membuncah di setiap nafasku, hingga akhirnya ikut terkubur bersama jasadku kelak dan dengan ruh, kubawa menghadap Zat yang dariNya kejujuran itu berasal. InsyaAllah, amin…”

    atau…

    “Hanya sebuah keinginan untuk meluahkan pengalaman ini ke dalam kata2, menyimpannya dengan baik dalam sel memori, mendekapnya erat dalam ingatan, agar ia jauh sejauh2nya dari lupa, agar zaman tak mampu menelannya, agar usia tak mengambilnya dariku,,”

    atau…

    “Sore itu indah, diselimuti layung Tuhan dengan teduhnya kelembutan, hingga aku bisa merasakan belaian kasih sayang angin yang bertiup, penuh bahasa kasih, cinta, cinta Tuhan yang ia percikkan ke setiap sukma manusia.”

    yah…cukup bagus lah untuk ukuran orang yang gak beres kaya kamu…hehehehe..*bcanda*

    serius nih…ajarin dong…=9

  3. NadS says:

    ocha,,, btul2 orang sumatra,, pandai bercerita…
    hehe.

    btul2 pengalaman tak terlupakan ya,,,^_^
    jadi pengen ktemu lg ama kedelapanan anak kelompok persib,,, + deny ya jd smbilan..

    yap, ocha,, kita tunggu petualangan kita slanjutnya…

  4. adjie says:

    dang, boleh saya ambil ga tulisannya buat artikel liputan acara GP di blog saya??

    bls

    *kaya sms aja*

  5. Ramadhani says:

    Hmm.. nice review..

    cuma lebih mengesankan tentang ANGKOT..

    parah.. ngakak saia cha..

    sambil membayangkan raut wajahmu yg memelas menahan rasa malu, piss…

  6. nurul says:

    wow….
    ocha…
    keren…
    punya bakat penulis…
    serasa membaca karya HTR..Asma Nadia juga…
    seru tuh cha GP nya…:)

  7. wie2 says:

    di sini aye cuma mau mengomentari..salah satu ucapan anak muda yang berkemungkinan salah omong,,
    “kok gemuk sih kak?kakaknya kurus, kok adeknya gemuk??”
    udah kurusan mbak????
    heeheheheheeehehehee

  8. Layung says:

    Haha.. Cie.. nama “Layung” disebut-sebut.. Hehe..
    Layung di sore hari itu memang cantik..

Leave a reply to NadS Cancel reply